Program Les Maen Saham BarenK JO (info saham barenK JO)
Daftar posting n links @ isu2 maen saham barenK JO
Bwat calon investor atwa INVESTOR MILENIAL n INVESTOR PEMULA sila baca2 di link ini: https://transaksisaham.wordpress.com/2020/06/15/selamat-bergabung-bei-jadi-investor-n-trader-berlaba-ya-141014/
Promo Keanggotaan Les Maen Saham Berlaba BarenK JO: masa berlaku tgl 2 Juni 2020 s/d 31 Desember 2020. Ada keringanan, ada analisis saham secara teknikal, fundamental, dan strategi trading. Yuk, buruan mendaftar ke https://twitter.com/JonatanOswari ; sila tinggalkan pesan. Atau kirim e-mail ke ekonomitakserius@gmail.com. Manfaatkan periode Adaptasi Kebiasaan Baru aka New Normal dalam kehidupan Bangsa Indonesia serta komunitas global, dengan berinvestasi dan bertrading saham, rauplaba sekarang juga. Catatan: JO bukan sniper / penembak jitu aka penebak harga saham. Cara JO melakukan trading saham dengan menggunakan analisis fundamental, teknikal, dan manajemen trading ala pake uzi (probabilitas statistik tertinggi), peluru banyak (amunisi modal cukup, jumlah lot disesuaikan dalam setiap order transaksi saham, frekuensi trading bisa lebih dari satu kali dalam setiap saham yang diincar), tepat sasaran (order paling mungkin terpenuhi). Laba selalu terbentuk dalam trading saham karena berdasarkan analisis2 tersebut di atas. Catatan: peserta les bebas memilih program. Bisa pilih akses blog saja, tanpa harus ikut les. Akses blog boleh satu saja. Yuk, buruan daftar les maen saham berlaba barenK JO skarang juga!
Menjadi anggota les ini berarti juga bisa membentuk komunitas SAYANG SAHAM juga, bo !
Peserta Les akan belajar cara TRADING SAHAM JO: pake “UZI”! Liat tabel berikut, selisih persentase imbal hasil cara “SNIPER” kontra “UZI” neh. Tapi bisa juga tuh JO sekale-sekale menjadi SNIPER (cek analisis teknikal JO @ tren ihsg sjak 3900, bottom) https://lesmaensahamolehjo.blogspot.com/2018/01/analisis-teknikal-ihsg.html?zx=627b41f3f900d747) :
Langgar Aturan Pasar Modal, OJK Cabut Izin Usaha Perusahaan Efek PT Optima Kharya Capital Securities
Penurunan kinerja perusahaan sekuritas sejatinya telah terjadi sejak dua tahun terakhir. Berdasarkan hasil “Rating Perusahaan Sekuritas Versi Infobank 2015”, perusahaan sekuritas yang berhasil mencatatkan kinerja terbaik jumlahnya menurun. Dari total 111 perusahaan sekuritas yang di-rating, hanya 27 perusahaan yang berhasil meraih predikat “sangat bagus”. Jumlah itu menyusut lima perusahaan dibandingkan dengan hasil rating 2014. Artinya, tak ada seperempat dari total perusahaan sekuritas yang masih mampu menorehkan kinerja terbaiknya.
Selebihnya, 20 perusahaan sekuritas harus puas dengan predikat “bagus”, 21 perusahaan sekuritas berpredikat “cukup bagus”, dan 43 perusahaan sekuritas mesti menelan kekecewaan karena menerima predikat “tidak bagus”. Ada empat perusahaan sekuritas yang tidak di-rating, yakni Inti Kapital Sekuritas, Jakarta Securities, Overseas Securites, dan Optima Kharya Capital Securities. Keempatnya mendapat suspend dari otoritas Bursa Efek Indonesia (BEI). Mana saja nama perusahaan sekuritas.
Optima, skandal yang terperam
Oleh
Selasa, 02 Agustus 2011 | 00:00 WIB
bisnis indonesia
Sejak menjabat Direktur Pengawasan dan Kepatuhan Anggota Bursa PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Uriep Budhi Prasetyo merasakan ubannya bertambah. Kelelahan acap memuncak.
Uriep masuk ke jajaran direksi BEI pada Juli 2009 setelah bersaing dengan Kepala Divisi Pengawasan Transaksi BEI Hamdi Hasyarbaini. Sebelumnya, dia adalah Direktur Operasional PT Dhanawibawa Artha Cemerlang dan Komisaris Kustodian Sentra Efek (KSEI).
“Ketika masuk direksi bursa, saya sering di-bilangin pilihannya hanya dua: Rambut berkurang atau rambut jadi putih semua. Baru 2 bulan, rambut saya sudah putih semua,” ujarnya di depan direksi dan kepala divisi pada rapat koordinasi BEI 2 September 2009.
Maklum, baru duduk sebagai direktur BEI, Uriep langsung disuguhi kasus pasar modal terbesar setelah skandal PT Bank Century Tbk-PT Antaboga Delta Sekuritas, yakni dugaan penyelewengan dana nasabah PT Optima Kharya Capital Securities (Optima Securities).
Data Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) menyebutkan kerugian nasabah dalam kasus itu Rp700 miliar, dua kali lipat kerugian nasabah PT Sarijaya Permana Sekuritas yang Rp245 miliar, dan separuh dari kerugian skandal Century-Antaboga, Rp1,4 triliun.
Kerugian nasabah Grup Optima terdiri atas kerugian di Optima Securities Rp300 miliar dan piutang macet nasabah di PT Optima Kharya Capital Management (Optima Management) Rp400 miliar. Terduga utama kasus ini Harjono Kusuma, Direktur Utama Optima Securities.
Untuk menyelesaikan kasus tersebut, BEI dan Bapepam-LK melancarkan operasi diam (silence operation) dan tutup mulut soal kerugian nasabah. Tujuannya tidak lain untuk mencegah kepanikan pasar.
“Saya belum pernah menghadapi kasus seperti ini. Sampai sebatas pemeriksaan, I know what to do. Namun, sampai pada remedy biar tak ada kepanikan, jujur saya tidak tahu,” keluh Uriep dalam rapat direksi BEI sebulan kemudian.
Skandal Optima memang rumit dan mengejutkan. Meski indikasinya telah terlihat sejak 2008, kasus ini baru muncul ke permukaan setahun kemudian. Uniknya, tidak ada gejolak berarti di pasar seperti dikhawatirkan Uriep, meski Optima Securities disuspen 6 bulan lebih.
Padahal, potensi kekacauan di Optima tidak kalah besar dari Sarijaya, karena ada 150 nasabah yang berpotensi menimbulkan sengketa, nilai kerugian sebesar Rp308 miliar, serta melibatkan 428 juta saham yang terkatung-katung selama lebih dari setahun.
Papan atas
Optima Securities semula dikenal sebagai perusahaan efek papan atas. Berdiri pada Desember 1989 dengan nama PT Sun Hung Kai Securities, lalu pada September 1997 mengubah nama jadi PT Ciptamahardhika Mandiri Sekuritas, dan pada April 2006 menjadi Optima Securities.
Pada 2007, aset broker ini pernah menembus Rp2 triliun. Kala itu, gelar sebagai sekuritas terbaik untuk kategori aset di atas Rp500 miliar-Rp1 triliun pun sempat terpampang dalam profil mereka.
Harjono memiliki saham PT Optima Kharya Mulia (OKM), yang berposisi sebagai perusahaan induk Optima Securities dan Optima Management. Kepemilikan Harjono 75%, sedangkan Antonius Torang P. Siahaan, mitranya, memegang 25% sisanya.
Sebelumnya, Harjono menjadi Direktur Utama Optima Management dengan kepemilikan saham 15% per Juni 2007. Pada 2008, Antonius sudah mengganti posisinya, dan Harjono pindah mengambil kendali Optima Securities.
Bersamaan dengan masuknya Harjono, Optima Securities terseret saham PT Agis Tbk yang menjadi langganan watchlist BEI sejak 2007. Jatuhnya saham emiten milik Johnny Kesuma dari kisaran Rp4.000 per saham menjadi Rp300 itu membuat Grup Optima terpukul.
Posisi mereka kian sulit setelah BEI mengawasi aksi Optima Securities di pasar pada 2008. Berdasarkan data perdagangan otoritas bursa, Optima Securities tercatat menjadi salah satu penggerak harga saham berkode TMPI itu, sebelum akhirnya ikut ‘terkubur’.
Saham Agis yang kodenya biasa dipelesetkan ‘Taman Makam Para Investor’ tersebut bukan aksi satu-satunya. Perusahaan yang sempat memasang mantan Ketua Bapepam-LK Marzuki Usman sebagai komisaris ini juga ditengarai mendalangi aksi goreng empat saham lain.
Salah satunya adalah saham PT Triwira Insan Lestari Tbk, di mana Optima Securities bertindak selaku penjamin pelaksana emisi saham perdananya. Sejak debut perdagangannya 28 Januari 2008, harga saham berkode TRIL itu meroket 97,06% ke Rp1.340 per 6 Maret 2008.
Merespons hal tersebut, BEI kemudian memvonis Optima Securities dan PT Mahakarya Capital Securities dengan sanksi tertulis pada 2 Juni 2008. Bapepam-LK juga memeriksa kasus Optima Securities ini dengan indikasi pelanggaran dua peraturan pasar modal.
Bapepam-LK mensinyalir Optima Securities melanggar Pasal 91 dan 92 UU Nomor 8/1995 tentang Pasar Modal, terkait dengan persekongkolan dua atau lebih pihak untuk menciptakan gambaran semu harga efek sehingga tidak menggambarkan harga sebenarnya di pasar.
Mereka juga dijerat Peraturan Bapepam-LK Nomor V.F.1 tentang Perilaku Perusahaan Efek Sebagai Penjamin Emisi Efek dan Peraturan Nomor IX.A.7 tentang Tanggung Jawab Manajer Penjatahan dalam Rangka Pemesanan dan Penjatahan Efek Dalam Penawaran Umum.
Sekadar mengingatkan, Triwira adalah perusahaan yang 6,61% sahamnya dimiliki PT Kereta Api Indonesia. Kereta Api dan Grup Optima dikenal dekat, terlihat dari posisi Optima sebagai konsultan keuangan proyek RaiLink milik Kereta Api dan PT Angkasa Pura II.
Belakangan, kedekatan itu menyeret Dirut Optima Management Antonius T. P. Siahaan ke kursi pesakitan. Dia dituduh menyuap pejabat Kereta Api sebesar Rp100 juta guna memuluskan penempatan investasi Rp100 miliar perseroan itu ke Optima Management.
Masuk pengawasan
Nyaris bersamaan dengan aksi goreng TRIL, dalam masa euforia bursa itu Optima Securities terpantau beraksi dengan Sarijaya mengangkat saham PT Ades Waters Indonesia Tbk sebesar 183,33%. Itu kejadian sebelum Sarijaya digulung karena menyalahgunakan dana nasabah.
Tak lama sesudah itu, Optima Securities-Sarijaya kembali beraksi di saham PT Indah Kiat Pulp & Papers Tbk, sehingga harganya naik 191,26% per 23 April-22 Mei 2008. Optima Securities juga disinyalir mendongkrak harga saham PT Tjiwi Kimia Tbk hingga 111,11%.
BEI lantas memasukkan Optima Securities-Sarijaya ke dalam daftar anggota bursa (AB) yang diawasi (watchlist). Kebetulan, saat itu BEI mulai getol mengawasi pasar, dan baru membentuk satuan pemeriksa AB dan partisipan. Fokus satuan tersebut, ironisnya, memelihara aset nasabah.
Satuan itu menemukan indikasi bahwa Optima Securities telah melanggar Peraturan Bapepam-LK Nomor V.D.1 Butir 5 tentang persetujuan tertulis pengawas atas pembukaan rekening nasabah. Pokok yang kemudian menjadi benih persoalan Optima Securities.
Merespons temuan tersebut, Erry Firmansyah, Dirut BEI ketika itu, memerintahkan bawahannya memanggil Harjono. “Yang saya lihat paling banyak [pelanggaran] di sini adalah Optima. Panggil saja deh,” tegasnya dalam rapat koordinasi BEI akhir Mei 2008.
Sayang, tim BEI saat itu bersikap lunak. Temuan pemeriksaan di lapangan hanya berujung pada sanksi administratif, sebagai bentuk pembinaan. Harapannya, Optima Securities memperbaiki diri tanpa perlu dihukum. Atau istilahnya, diberi ‘obat’.
Namun, harapan itu justru berakhir menjadi lelucon. Dokumen BEI tentang hasil pemeriksaan AB per Desember 2008 mencatat Sarijaya dan Optima Securities lagi-lagi bertengger pada daftar 10 AB berstatus pengawasan khusus.
Erry pun berang. Broker-broker bermasalah tersebut dinilai tidak beriktikad memperbaiki diri. Efek nasabah tetap dicampur dalam rekening kolateral perseroan, dan dana nasabah juga digabung dengan dana perusahaan.
“Berarti masih terjadi pengulangan, meski sudah diperingatkan. Kalau dalam kondisi begini, kita sudah tidak bisa lagi [membina], mending disuspen saja. Ini menunjukkan mereka tidak siap menjadi AB yang benar,” ujarnya dalam rapat direksi pada 22 Oktober 2008.
Kebetulan, pada saat bersamaan kasus Sarijaya pecah. Tuntutan publik agar BEI memperkuat pengawasannya kian besar. Akhirnya, untuk mencegah pembajakan saham, BEI melarang praktik kuasa nasabah oleh AB untuk meminjamkan dananya ke pihak lain.
Tak ingin kecolongan lagi, BEI membangun sistem manajemen risiko AB dan memerintahkan Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia menyusun kriteria basis data nasabah. Tiga firma akuntan diseleksi untuk jadi konsultan, yakti Ernst & Young, Pricewaterhouse Cooper, dan Deloitte.
Seorang direktur BEI yang meminta identitasnya dilindungi menyebutkan sejak beredar rumor tentang kasus reksa dana dan kontrak pengelolaan dana di Optima Management pada pertengahan 2008, Erry sebenarnya telah mengingatkan tim pengawasan untuk memonitor Grup Optima.
Pasalnya, eksposur yang dimiliki Optima Management saat itu sudah mencapai di atas setengah triliun. “Hati-hati, Optima banyak mengelola aset dana pensiun. Tolong dicek lagi,” ujarnya menirukan Erry dalam sebuah rapat direksi.
Ketika dikonfirmasi pada 8 Juni 2010, Erry mengaku kasus Grup Optima mulai dimonitor ekstra ketika persoalan reksa dananya mengemuka. Pengawasan itu kian diperkuat setelah muncul indikasi gagal bayar Optima Securities pada Februari 2009.
Pada akhir Maret 2009, BEI mengganjar Optima Securities dengan peringatan tertulis karena tidak melakukan tertib administrasi terkait dengan pemindahbukuan efek bersifat ekuitas, untuk penyelesaian transaksi antar-AB.
Akan tetapi, itu saja belum cukup. Optima Securities tetap berada pada daftar pemeriksaan khusus 10 AB, dengan hasil temuan yang sama dari pemeriksaan 2008, yakni penyalahgunaan rekening efek nasabah dan pencampuran dana nasabah di akun utama perusahaan.
Sayang, riuh-rendah kampanye perebutan kursi direksi BEI sepanjang April-Juni 2009 menelan temuan penting hasil pemeriksaan tersebut. Pengawasan mengendur. Pembinaan BEI yang diberikan Juli 2009 praktis tidak mempan.
Kesalahan yang sama tetap muncul dalam temuan pemeriksaan Agustus 2009. Akhirnya, meledaklah ‘bom waktu’ Optima Securities pada September 2009. Uriep, yang baru tarik napas setelah timnya memenangkan perebutan kursi direksi BEI, pun terhenyak.
Mulai terkuak
Urip tidak sendirian. Robert Widjaja, pemilik distributor barang konsumsi PT Tigaraksa Satria Tbk, juga tak pernah menyangka akan menghadapi kenyataan dana investasi di masa senjanya senilai Rp100 miliar menguap di Optima Securities.
Sejak 15 Januari 1998, Robert tercatat sebagai nasabah Optima Securities yang kala itu bernama PT Ciptamahardhika Mandiri Sekuritas. Saat itu, Robert juga mengajak putrinya, Chandra Natalie Widjaja, berinvestasi di Optima Securities melalui PT Penta Widjaja Investindo.
Apabila krisis finansial Asia pada 1998 menjadi tonggak awal investasi Robert di Optima Securities, krisis negara maju 2008 justru membuyarkan perjalanan investasi tersebut, menyusul terkuaknya penyalahgunaan efek yang ditanamnya.
“Juni 2009, jumlah dan nilai saham portepel di Optima Securities atas nama Robert Widjaja Rp150 miliar. Setelah membaca berita skandal di Grup Optima, ayah berniat memindahkan sahamnya ke Trimegah namun tidak bisa,” tutur Chandra.
Padahal, lanjutnya, pemindahan tersebut seharusnya bisa dieksekusi dalam sehari. Setelah didesak, broker di Optima Securities bernama Ety Sulistyowati mengaku perusahaan terbelit masalah dan tidak ada rekening efek atas nama Robert di KSEI.
Tentu saja, pengakuan Ety membuat Robert dan Chandra berang. Tindakan Optima Securities itu jelas melanggar Peraturan Bapepam-LK Nomor III.C.7 tentang SubRekening Efek pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
Apalagi, Harjono Kesuma selaku Dirut Optima Securities, tidak pernah menginformasikan fakta tersebut, dan terus ‘menjaga kepercayaan’ mereka melalui laporan cetakan tertulis berisi daftar efek Robert Widjaja, versi Optima Securities yang rutin dikirimkan.
Pada 9 September 2009, Harjono dan Direktur Optima Securities Lanny V. Taruli berupaya menenangkan Robert sembari membawa dua orang yang diperkenalkan sebagai calon investor Optima Securities. Salah satu investor itu adalah Jodi Haryanto. Dalam pertemuan tersebut Robert diwakili Chandra.
Harjono, berdasarkan keterangan Chandra yang juga terkonfirmasi melalui berkas laporannya ke polisi, berusaha meyakinkan bahwa persoalan Optima Securities segera tuntas, dan pengembalian dana Rp100 miliar yang ditanamnya di Optima Securities tinggal menunggu negosiasi dengan dua calon investor tersebut.
Sepanjang perjalanan kasus ini, calon investor yang berminat menanam modal di Optima Securities hanya Indonesia Recovery Fund dan PT Garuda Capital Investama. Keduanya dimainkan orang yang sama, mantan wakil bendahara Partai Demokrat, Jodi Haryanto.
Jodi dikenal sebagai Direktur Utama PT Eurocapital Peregrine Securities, salah satu sekuritas yang terdepak dari keanggotaan bursa 2 tahun silam akibat suspen berkepanjangan, menyusul sengketa dengan komisaris utamanya sendiri, Rudi Wirawan Rusli. Kasusnya sampai sekarang masih di pengadilan.
Robert dan Chandra tidak tertarik dengan negosiasi yang ditawarkan Harjono. Prioritas mereka adalah adanya jaminan pengembalian aset. Untuk itu, dia mengajukan gadai saham Optima Securities 70% sebagai jaminan. Harjono meneken persetujuan pada 30 September 2009.
Dengan harapan dananya kembali utuh, Chandra kemudian mengadukan nasibnya ke BEI dan Bapepam-LK, serta melaporkannya ke polisi atas dasar dugaan penggelapan direksi Optima Securities pada 23 Oktober 2009 melalui laporan Nomor Po.LP/3026/K/X/2-009/SPK unit I.
Dalam dokumen pemeriksaan polisi per 18 Januari 2010, Harjono menyebut nama Ahmad Rudiansyah sebagai pelaku penjualan aset Penta Widjaja di Optima Securities senilai Rp85 miliar. Namun penyidik menduga nama itu alibi Harjono untuk menghindari tanggung-jawab.
Pada 26 April 2010, Bisnis berkunjung ke kantor Optima Securities di Menara Rajawali, Jakarta Selatan untuk mengecek nama itu. Resepsionis dan satpam kantor Optima Securities kebingungan, karena nama Ahmad yang ada hanyalah Ahmad Royani dan Achmad Halim.
Robert Widjaja mungkin tidak pernah tahu namanya sempat menjadi perbincangan di rapat direksi dan rapat koordinasi di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).
Robert, yang menanam uangnya di PT Optima Kharya Capital Securities (Optima Securities), sempat diposisikan sebagai ‘kunci’ penyelesaian kasus Grup Optima. Situasi tersebut bermula dari pemeriksan BEI, tak lama setelah kasus itu meledak awal September 2009.
Pemeriksaan itu menemukan perbedaan data antara saldo di Optima Securities dengan saldo di Kustodian Sentra Efek Indonesia (KSEI).Atas perbedaan tersebut, Dirut Optima Securities Harjono berdalih hal tersebut hanya karena salah input dan bisa dikoreksi.
Tim pemeriksa BEI lalu menunggu, dan butuh hampir sebulan untuk sadar bahwa alasan Harjono mengada-ada, sampai Optima Securities mengaku bermasalah. Fakta material itu akhirnya mengundang suspen, 23 Oktober 2009.
Untuk mengklarifikasi situasi tersebut, 3 hari setelah suspen, Harjono dan Direktur Optima Securities Lanny V. Taruli mendatang kantor BEI. Keduanya ditemui oleh Direktur Penilaian Perusahaan BEI Eddy Sugito.
Dalam pertemuan itu, Harjono menyatakan nilai efek nasabahnya yang bermasalah Rp165 miliar tersebar di 50 rekening.
Pernyataan ini menganulir pengakuan sebelumnya di hadapan Bapepam-LK yang mengklaim hanya terdapat 10 rekening.
Harjono juga mengaku Rp400 miliar dana Optima Securities terpakai untuk menambal kewajiban PT Optima Kharya Capital Management (Optima Management), seiring dengan anjloknya bursa pada akhir 2008.
“Optima Management melikuidasi obligasi aset dasar kontrak pengelolaan dana dan reksa dana. Waktu likuidasi, nilai asetnya hancur, ada rush lagi. Untuk menambal, dana Optima Securities dipakai,” kata Eddy dalam rapat direksi BEI, tak lama setelah pertemuan itu.
Harjono, dalam pertemuan itu, juga mengusulkan cara minimalisasi kerusakan dengan mengalihkan atau merelokasi konflik melawan puluhan nasabah Optima Securities kepada tiga nasabah terbesar, yakni Robert, Jawadi, investor asal Yogyakarta, dan Aryo asal Solo.
Dia meyakinkan direksi BEI bahwa dirinya bisa berunding dengan Robert, Jawadi, dan Aryo, untuk ‘mengorbankan’ sekitar Rp170 miliar total efek mereka di Optima Securities. Operasi penyelamatan itu diskenariokan rahasia (silence operation). Publik tak perlu tahu.
Menanggapi usulan tersebut, Eddy menyatakan tidak bisa ikut campur. Itu pilihan Harjono. Namun, dia menekankan prioritas BEI adalah agar Optima Securities menyelesaikan persoalan secepatnya seperti ketentuan pasar modal.
Segendang sepenarian dengan BEI, Bapepam-LK yang kian sensitif dengan penggelapan dana nasabah sejak mencuat kasus Sarijaya-Antaboga, juga membiarkan silence operation tersebut. Atas nama mencegah kepanikan pasar, efek nasabah Optima Securities pun tak dibekukan.
Psikologi kepanikan itu pula yang menjelaskan kenapa Kepala Biro Transaksi Lembaga Efek Bapepam-LK Nurhaida kemudian mengizinkan Harjono bernegosiasi dengan Robert dkk. Izin yang kemudian justru menempatkan otoritas bursa dan pasar modal ke posisi pasif.
Padahal, Robert, melalui Chandra, mengaku negosiasi itu tak pernah ada. “Negosiasi yang ada adalah September 2009, Optima Securities mengajukan ganti rugi tunai Rp22,5 miliar, tanah, dan saham PT Colorpark Indonesia Tbk,” kata Chandra, 21 Juni 2010.
Operasi rahasia
Di balik meja kantornya, Kepala Biro Pemeriksaan dan Penyidikan Bapepam-LK Sardjito melancarkan silence operation versinya. Diam-diam, pria yang gemar berjaket kulit a la pejabat Bareskrim Polri ini mengonfirmasi langsung ketiga investor tersebut.
Ketika ditemui di kantornya 28 Juni 2010, Sardjito mengakui operasi rahasia itu menemukan bahwa Robert, Jawadi, dan Aryo, menolak proposal Harjono dan membantah ada negosiasi. Dari fakta itulah akhirnya, Bapepam-LK menolak usulan relokasi konflik.
“Secara logis, tidak mungkin ada investor rela uangnya dipakai menambal dana orang lain ketika dia belum tentu bisa mendapatkan kembali asetnya. Karena itu, kami langsung blokir rekening efek Optima Securities yang diduga terafiliasi Harjono,” katanya.
Rekening itu berjumlah 34 buah plus 11 rekening nominee. Bersamaan dengan itu, Sardjito menolak permintaan Lanny untuk membuka blokir Optima Securities. Apalagi, argumennya ganjil, jika nasabah tak bisa menarik dana, Optima Securities seolah memakai dana mereka.
Saat itu, muncul kabar Jawadi, pemilik Toko Progo di Yogyakarta, hendak memindahkan Rp60 miliar dananya di Optima Securities ke PT Dinamika Usahajaya. Pada saat yang sama, Robert, nasabah dengan eksposur aset terbesar, juga ngotot keluar dari Optima Securities.
Tak pelak, tekanan dari Bapepam-LK yang diiringi serangkaian permintaan pemindahan dana nasabah utamanya menyebabkan posisi Harjono terjepit. Dia lalu mendekati Dirut BEI Ito Warsito agar menekan Robert guna menyetujui skenario relokasi konflik.
Permintaan itu disaksikan Dirut KSEI Ananta Wiyogo, Dirut Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) Yunus Hoesein, dan mantan Dirut BEI Erry Firmansyah dalam pertemuan tertutup di kantor KSEI pada pertengahan Desember 2009.
Ito menolak permintaan itu, karena bisa berkonsekuensi hukum. Di tengah kemelut, Direktur Pengawasan dan Kepatuhan Anggota Bursa BEI Uriep Budhi Prasetyo mengambil solusi jitu: Pastikan dahulu jumlah efek bodong yang diklaim Optima Securities hanya 67 buah, sebelum membahas proposal Harjono.
Rekonsiliasi data oleh BEI dilancarkan Januari 2010 dan baru selesai 2 bulan karena data off balance sheet yang dipasok Optima Securities berubah-ubah. Keterangan Harjono juga tidak konsisten soal jumlah efek bermasalah, dari 50 efek menjadi 67 efek.
Akhir Februari 2010, Uriep melaporkan hasil rekonsiliasi dari pemeriksaannya. Dari total 1.827 rekening nasabah Optima Securities, hanya 421 yang aktif. Sisanya, sebanyak 1.406 rekening diketahui tidak lagi aktif.
Dari 421 rekening aktif, 262 berpotensi bersih karena efek dan nasabahnya cocok dengan data back office internal system (boffis) di Optima Securities dan central depository and book entry settlement system (C-BEST) di KSEI. Namun, sekitar 150 rekening terindikasi bodong dan 50 di antaranya diduga terafiliasi Harjono.
Temuan ini membungkam klaim-klaim Harjono. Proposal penyelamatannya pun dibuang ke tempat sampah. Pada 5 Maret 2010, setelah sekian lama, Bapepam-LK dan BEI baru bernyali membekukan rekening seluruh nasabah Optima Securities.
“Setelah freeze, kita membuat satuan tugas seperti kasus Sarijaya. Ini silence operation, tidak muncul di media. Perusahaan efeknya [Optima Securities] yang kirim form ke nasabah, nanti hasil klaim ditaruh ke kita,” ujar Uriep dalam rapat koordinasi BEI, 15 Maret 2010.
Dengan skenario silence operation yang baru ini, Uriep bisa bernapas lega. Kekhawatiran soal kepanikan pasar teratasi, dan tugas verifikasi segera tuntas, meski akhir ceritanya tak berbeda seperti dalam kasus Sarijaya tidak menyinggung soal pengembalian dana nasabah.
Akhir Juni 2010, Uriep menyatakan ada 401 efek nasabah yang aktif di Optima Securities, dan sebanyak 130 nasabah dinyatakan clean and clear, 132 masih diverifikasi, dan sisanya dengan nilai efek Rp21 miliar masih menunggu klaim nasabah.
“Sekarang rambut saya mulai menghitam lagi,” ujarnya sembari tersenyum ketika ditemui di lobi Bapepam-LK, 28 Juni 2010.
Kondisi khusus
Di kalangan karyawan Optima Securities, Harjono Kesuma dikenal pendiam. Interaksi interpersonalnya tidak begitu intens, Apalagi, koridor menuju ruangannya tak melewati episentrum ruang karyawan di kantor Optima Securities, Menara Rajawali, Jakarta Selatan.
Namun di balik sikap diam itu, Harjono tidak abai dengan nasib sekitar 60 karyawannya. Terhitung per 23 Oktober 2009, sejak sanksi suspen membekap Optima Securities hingga laporan ini diturunkan, Harjono bertahan. Tak satu pun karyawan yang di-PHK.
“Memang ada beberapa kawan yang mengundurkan diri, tapi tak ada pemecatan,” tutur seorang karyawan Optima Securities yang menolak disebut identitasnya. “Kami berharap Bapepam-LK tetap membiarkan Optima Securities beroperasi.”
Harapan serupa dikemukakan Harjono melalui kuasa hukumnya, Eggi Sudjana. Pengacara senior ini secara langsung mengajukan surat berisi skema penyelesaian kewajiban kliennya kepada Kepala Biro Pemeriksaan dan Penyidikan Bapepam-LK Sardjito.
“Skemanya adalah pemulihan aset nasabah [asset resettlement], penggantian kerugian tiga nasabah terbesar Optima Securities dengan aset berupa tanah seluas 30 hektare di Sentul dan beberapa saham,” tuturnya dalam wawancara 23 Juni 2010.
Namun, Eggi meminta Bapepam-LK mencabut suspen, karena cenderung tidak adil. Di satu sisi otoritas pasar modal mewajibkan Optima Securities membayar dana nasabah, tapi di sisi lain kliennya dihambat menjalankan bisnis untuk meraih dana guna membayar kewajiban.
Soal nasib nasabah, dia menilai ada perbedaan cara pandang. Menurut dia, kerugian adalah konsekuensi investasi. “Kala-kala untung, kala-kala rugi. Nilai kerugian Optima Securities itu hanya Rp300 miliar, karena Rp400 miliar itu utang afiliasi ke Optima Management,” ujarnya.
Bapepam-LK bergeming. Optima Securities tetap diwajibkan memenuhi modal kerja bersih disesuaikan Rp25 miliar guna mencabut suspen. Ini lingkaran setan, sebab pokok yang diatasi Optima Securities untuk membuka suspen itulah yang membuat modal kerjanya minus Rp700 miliar.
Sardjito menilai pembukaan suspen Optima Securities belum tentu mengatasi persoalan karena ada risiko eksodus. Berdasar keterangan BEI dan Bapepam-LK, 130 nasabah Optima Securities yang rekeningnya lolos verifikasi memilih memindahkan efek ke sekuritas lain.
“Jika ada nasabah pindah, setidaknya Optima Securities masih bisa mencari nasabah baru dan punya posisi tawar untuk berunding dengan investor guna membantu menyelesaikan kewajiban,” demikian argumentasi Eggi.
Eggi juga mengaku Bapepam-LK tidak pernah menekan Optima Securities menyelesaikan kewajiban dengan ancaman pidana. “Jika pasal pidana bermain, tanggung-jawab penyelesaian dana nasabah OKCS pun beralih kepada negara,” ujarnya.
Silence revolution
Bagi Ketua Bapepam-LK A. Fuad Rahmany, meski ada konsekuensi munculnya kesan lamban dan tidak tegas, pilihan mengedepankan penyelesaian bisnis di atas penyelesaian hukum adalah pilihan ideal untuk menangani kasus Optima Securities.
Hingga kini, Biro Pemeriksaan dan Penyidikan Bapepam-LK belum mengoper hasil pemeriksaan Optima Securities ke polisi. Optima Securities yang sudah menyedot dana nasabah tersuspen satu semester lebih, hidup tak boleh dibunuh pun enggan.
Padahal, Peraturan Bursa No.III-C tentang Pembekuan dan Pencabutan Keanggotaan Bursa menyebut izin broker dicabut jika disuspen 6 bulan lebih. Namun, pilihan Bapepam-LK mengambangkan Optima Securities juga tidak datang dari ruang hampa.
Pilihan itu dipicu oleh ending antiklimaks kasus Sarijaya. Akhir kasus tersebut telah menjadi jurisprudensi bahwa pasal-pasal pidana penggelapan dana investor di pasar modal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sudah tidak memadai untuk menyelesaikan persoalan.
Kala itu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Herman Ramli, pelaku penggelapan dana nasabah PT Sarijaya Permana Sekuritas, dengan hukuman 26 bulan. Hukuman itu tak ada artinya dibandingkan dengan kerugian nasabah yang hampir seperempat triliun.
“Yang paling utama adalah kepentingan nasabah diselamatkan dulu sebelum bicara soal pidana. Saya dengar nasabah sudah menggugat Harjono, tapi mengenai status tersangka Harjono, saya tidak komentarlah,” tutur Fuad dalam wawancara 23 Juni 2010.
Bagi Fuad, kasus Optima Securities paling tidak memperkuat tekad melanjutkan apa yang disebutnya silence revolution pasar modal, yakni radikalisasi perubahan sistem pengawasan anggota bursa (AB) dan perlindungan nasabah, hingga revisi UU Pasar Modal Nomor 8/1995.
Beberapa usul ekstrem muncul dalam draf revisi itu, a.l. pasal sita, kewenangan menyadap, mencekal, membuka rekening bank untuk penyidikan. Bahkan mengambil-alih sekuritas penyeleweng dana nasabah, mirip statutory management di Bank Indonesia (BI).
Revisi UU Pasar Modal kali terakhir dibahas dalam rapat Bapepam-LK di Bandung, Jawa Barat akhir Juni lalu. Targetnya, RUU dibahas DPR tahun ini, meski diyakini mengundang resistensi berbagai kalangan, baik dari BI maupun anggota DPR.
“Memang ada perlawanan. Namun, kami berharap kasus Optima Securities membuka mata bahwa kewenangan Bapepam-LK sangat terbatas. Di negara lain, kewenangan seperti yang kami usulkan sudah dimiliki otoritas pasar modalnya,” ujar Sardjito.
Sejak skandal Antaboga merebak, kesadaran otoritas pasar modal dan bursa memperkuat pengawasan Anggota Bursa (AB) kian muncul ke permukaan. Hal ini terlihat dari inisiatif BEI membentuk manajemen risiko AB pada Oktober 2008.
Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) ditugasi menyusun basis data nasabah dan AB, sedangkan divisi hukum BEI menggarap aspek legal formal. Serangkaian upaya itu makin terakselerasi setelah kasus Sarijaya pecah.
Dalam rapat koordinasi BEI 23 Januari 2009, disepakati terbentuknya Tim Pematangan dan Finalisasi Risk Management AB. Rapat itu menargetkan dokumen rancangan manajemen risiko tersebut selesai akhir Februari 2009.
Ironisnya, APEI justru tidak mampu memenuhi target tersebut dengan alasan masih terjadi polemik seputar batasan risiko yang dilaporkan, tahapan pelaporan, hingga uraian mengenai kegunaannya. Erry Firmansyah, dirut BEI ketika itu, pun berang.
“Bukannya proyek database nasabah sudah dibahas September 2008 oleh APEI? Di Bandung kan disepakati database yang simpel, kok sekarang jadi susah? Ngapain bikin database kalau AB sendiri takut lapor?” ujarnya.
Proyek itu pun terpaksa ditunda. BEI lagi-lagi kembali ke cara klasik, yakni pembinaan AB melalui sosialisasi yang melibatkan seluruh direksi, komisaris, dan pemegang saham pengendali AB-hingga sekonyong-konyong skandal Optima Securities pecah.
Mukjizat
Sebelum skandal Optima Securities menampar otoritas bursa dan pasar modal, boleh dikata AB punya ‘mukjizat’. Pembinaan BEI yang cenderung kooperatif memungkinkan mereka berbisnis seperti biasa, sembari memperbaiki pelanggaran yang dilakukan.
Berdasarkan dokumen pemeriksaan AB per Januari 2009, masih ada 49 broker melakukan pelanggaran serius. Update selanjutnya, Agustus, relatif sama. Sebanyak 43 AB masih mencatat perbedaan antara dana nasabah di KSEI dan catatan boffis mereka.
Otoritas bursa merespons lebih keras, kali ini dengan teguran. Surat teguran dikirim untuk AB dengan nilai perbedaan di bawah Rp400 juta, sedangkan 15 AB lain yang nilai perbedaannya di atas Rp400 juta langsung masuk daftar pemeriksaan.
Untuk memperkuat pengawasan itu, pada saat bersamaan BEI membangun sistem informasi nasabah dan pegawai AB. Ada pelatihan yang dibuat untuk penerapan sistem itu.
Draf standar kontrak pembukaan rekening efek dirombak agar tidak ada lagi klausul yang menjebak calon investor untuk memberi kuasa AB ‘menyekolahkan’ efek mereka.
Kabar bagus juga berembus dari divisi pemeriksaan BEI. Dari 34 AB yang diperiksa, tidak satupun yang terindikasi sama seperti Optima Securities. Justru, AB yang sempat dicurigai bermasalah terbukti bersih ketika diaudit.
Kliring Penjaminan Efek Indonesia juga membangun sistem pengawasan portofolio AB dan KSEI. Untuk sementara, laporan tersebut fokus pada volume portofolio. Pada uji coba 5 Maret, dari total 117 AB, hanya 14 yang portofolio di Boffis-nya lebih besar.
“Ke depan, sistem itu akan terhubung langsung dengan penghitungan modal kerja bersih disesuaikan AB, untuk memotret posisi mereka secara harian, hingga meningkatkan pengawasan dana dan aset nasabah,” ujar Uriep.
Hingga kini, BEI dan Bapepam-LK masih memverifikasi nasabah Optima Securities. Biro Transaksi Lembaga Efek Bapepam-LK sibuk menyosialisasikan kartu acuan kepemilikan sekuritas, agar nasabah bisa memonitor posisi efeknya.
Kepada Bisnis, Sardjito, ‘jenderal lapangan’ tim gabungan Bapepam-LK dan BEI dalam penanganan kasus Grup Optima yang selama ini bungkam, berjanji semua persoalan akan dijawab dan dipaparkan ke publik segera setelah verifikasi itu tuntas.
Sampai laporan ini diturunkan, Harjono, kunci kasus Optima Securities, masih memilih bungkam. “Selama ku menyembah-Mu, kupercaya bahwa mukjizat masih terjadi,” demikian nada sambung ponselnya, menyambut telepon konfirmasi. (arif.gunawan@bisnis. co.id)
Nasabah Optimal kembali pertanyakan nasib dananya
Oleh Bunga Citra Arum N.
bisnis indonesia
Published On: 30 May 2011
JAKARTA: Sejumlah nasabah Grup Optima kembali mendatangi kantor Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan pada hari ini, untuk mempertanyakan nasib dana mereka.
Kedatangan para nasabah itu merupakan yang kesekian kalinya, dengan maksud mempertanyakan kelanjutan pemeriksaan dana mereka yang masih tersangkut di PT Optima Kharya Capital Securities (OKCS) dan PT Optima Kharya Capital Management (OKCM).
Salah seorang nasabah Grup Optima, Evi Gunawan, menyatakan hingga kini masih terdapat dana nasabah sekitar Rp20 miliar yang tersimpan di bank kustodian, yakni Bank CIMB Niaga.
“Jumlah total dana nasabah kira-kira sebesar Rp40 miliar untuk dua produk reksa dana yakni Optima Diamond I dan II. Saat ini yang telah cair baru separuhnya,” kata Evi mewakili nasabah lainnya kepada Bisnis, hari ini.
Evi kemudian mengutip pernyataan staf Biro Pengelolaan Investasi Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Sujanto, yang berhasil mereka temui di kantor Bapepam-LK hari ini, bahwa tertahannya dana nasabah itu karena belum diperoleh pengesahan dari direksi OKCM yang berwenang untuk mencairkan dana tersebut.
“Menurut Sujanto, Bapepam-LK akan berkonsultasi dengan bank kustodian terkait dengan masalah ini,” ujar Evi. (yes)